Sabtu, 25 Agustus 2012

Kisah Penjual Sayur

Tinggal di bedeng saja sudah merupakan cobaan yang berat. Ditambah lagi dengan cobaan berat lainnya. Ditinggal istri kabur dan anak yang putus sekolah. Itulah cobaan yang dialami oleh Pak Endang.
Selama hidup, nasib sial selalu menimpa diriku. Berbagai usaha sudah kulakoni, namun nasib mujur belum berpihak pada diriku. Memang sebelum aku berkeluarga, kedua orang tuaku memiliki nasib yang kurang beruntung juga.
***
Sejak kecil aku memang dari keluarga yang kurang mampu. Pendidikan yang aku jalani, tidak sampai tamat SD. Aku bersekolah hingga kelas IV SD. Endang, nama yang diberikan orang tuaku. Tapi para tetanggaku biasa memanggilku, Jarot. Mungkin karena namaku terlalu singkat, rejekipun singkat pula yang aku terima selama ini.

Usiaku saat ini 40 tahun. Jika dilihat kondisi fisik, aku memang belum terlalu tua. Namun karena banyak pikiran. Selalu dirundung hidup susah, tampangku seperti tampak seperti tua. Yah, itulah nasibku. Aku memiliki seorang istri, Emilia dan anakku, Muhammad Drajat.
Emilia adalah istriku yang terakhir. Istri yang pertama, kabur meninggalkanku tanpa alasan jelas. Saat itu, anakku Muhammad Drajat masih berusia 3 tahun. Aku tinggal di kawasan Kebon Pisang, Pasar Jelambar, Jakarta Barat. Sudah 19 tahun silam, aku menempati rumah warisan orang tuaku. Kondisi tempat tinggalku sangatlah parah. Bahkan bisa dibilang, sangat tidak layak untuk dihuni.

Udara pengap, bau, itulah yang terjadi didalam rumahku. Dinding yang terpasang dirumahku, terbuat dari tripleks bekas. Lantai rumahku, hanya urukan tanah. Aku tidur bersama istriku, ditempat tidur yang kecil dan sempit.
Binatang-binatang seperti tikus, kucing, sudah menjadi pemandangan biasa bagiku. Aku sangat sedih jika hujan, atap rumah pasti bocor. Bahkan jika hujan deras, dikhawatirkan rumahku akan roboh. Dengan situasi seperti ini, aku termasuk golongan dibawah garis kemiskinan.
Aku sering mendapat bantuan dari tetangga, yang bisa berupa makanan, uang atau yang lainnya. Kini sudah 3 tahun aku berjualan sayur di pasar dekat tempat tinggalku. Sebelum aku menjadi pedagang sayur, berbagai usaha sudah aku lakukan. Aku misalnya pernah menjadi kuli bangunan atau calo penumpang di terminal. Namun nyatanya, hingga kini nasibku sama sekali belum berubah.
Kendati aku tidak memiliki keahlian atau keterampilan yang bisa diandalkan, namun niatku untuk menyekolahkan anakku yang sempat terhenti, tetap ada.
***
Sebagai ayah yang masih memiliki kemampuan dan masih sehat, niat dan tekadku adalah membiayai sekolah anakku yang sempat terhenti, akibat keterbatasan ekonomi. Dengan sekuat tenaga, apapun akan kulakukan. Bahkan bila perlu akan meminjam uang dengan kenalanku, demi memajukan pendidikan anakku.
Keinginan keras Muhammad Drajat, anakku yang berusia 16 tahun untuk melanjutkan sekolah, masih tetap ada. Ajat, panggilan sehari-hari anakku, kini putus sekolah sejak kelas 2 SMP. Ia kerap meminta kepadaku untuk melanjutkan sekolah. Namun keinginan itu untuk semantara hanya sebatas angan-angan saja.

Anakku memiliki kamar dibagian atas rumahku yang kondisinya cukup memprihatinkan. Ia tidur hanya beralaskan seadanya. Untuk bekerja tentu sangat sulit bagi anakku, jika hanya mengandalkan ijasah SD.
Ia beberapa bulan yang lalu pernah mencoba mengamen dipinggir jalan, bersama teman-temannya. Namun karena takut dirazia aparat keamanan, kegiatan itu tidak diteruskan. Kadang-kadang aku berpikir kapan keluargaku dapat menikmati hidup yang lebih mapan. Walaupun sudah berusaha sekuat tenaga, namun masih saja nasib beruntung belum berpihak kepada diriku.
Aku tetap yakin, suatu saat nanti mungkin saja nasibku bakal berubah. Aku hanya bisa berdoa dan berharap, agar nasibku tidak seperti sekarang. Kepasrahan dan doa adalah ujung dari sebuah usaha, namun tetap Tuhanlah yang memberi keputusan akhir.

0 komentar: