Sabtu, 25 Agustus 2012
Kisah Kuli Pasar Induk
WAJAHNYA serius dengan keringat membasah sebagian besar wajah dan
seluruh badannya. Dengan sigap, Munari, 32, mengambil karung sayuran
dari truk, kemudian menurunkannya di lapak. “Bagi kami yang penting
halal, karena untuk menghidupi keluarga,” katanya.
Ditemui saat bongkar muat di Pasar Induk Cibitung Blok B, Munari
tampak ceria. Meski tak bisa menyembunyikan kelelahan badan, pria
bertubuh sedang ini berusaha tetap tersenyum. Pekerjaan yang sudah
dilakoni beberapa tahun silam, hanya berpengharapan sederhana;
menyenangkan anak-istri. “Semoga anak-anak saya bisa sekolah sampai
tinggi,” katanya.
Pria
yang biasa dipanggil Momok ini menceritakan suka duka menjadi kuli
panggul. Berangkat dari Serang Banten sejak semalam, kemudian menjadi
kuli pada siang harinya, dan besok sudah harus pulang lagi. “Di sini
khan shift, gantian. Jadi kita terima apa adanya saja,” katanya.
Ayah 5 orang putra menyebutkan keinginan agar bisa menjadi kuli
panggul sampai dia tak kuat lagi mengangkat barang. Setiap truk yang
menurunkan barang, dia bisa mendapat upah sekitar Rp 25 ribu. Maka,
warga Desa Lebak, Ciomas, Serang, Banten, ini berusaha mendapat sekitar
10 truk yang diturunkan barangnya.
Dengan penghasilan sekitar Rp 250 ribu, Momok baru bisa ‘manggul’
lagi seminggu kemudian. Pasalnya, beberapa kelompok kuli panggul di sini
sudah memiliki kapling dan jadual tersendiri. “Yah, dicukup-cukupkan,
pak,” katanya yetamng pendapatan Rp 250 ribu seminggu itu.
Karena minim, maka keluarga besar ini harus berjuang di saat lain
ketika Momok tak memanggul. “Untuk hari yang kosong tidak manggul, saya
dan istri membuat tempe. Wah enak pak, tempe saya,” katanya berpromosi.
Cerita dari mulut Momok tampaknya mulai enteng mengalir. Pria yang
tak tamat SD ini dengan riang mencerikan kelucuan anak-anaknya, atau
juga kebanggaan seorang ayah yang bisa menyekolahkan anak sampai di
Madrasah Tsanawiyah (setingkat SLTP). “Umurnya 14 tahun, sudah pinter
ngaji,” katanya bangga.
Tanpa pengharapan yang muluk-muluk, pria dengan tatapan serius ini menyebut keinginan
untuk bisa menyekolahkan anak hingga setinggi langit. “Paling tidak,
agar mereka bisa lebih ringan dan tidak seperti kami,” katanya.
Di pasar induk ini, terdapat beberapa kelompok kuli yang dibagi
beberapa mandor. Kelompok kuli bongkar, kuli muat, dan kuli lapak.
Sebuah kendaraan biasanya akan mengeluarkan Rp 120 ribu untuk membongkar
barang.
Ada juga kuli lapak yang membawakan barang setelah diturunkan.
Ongkosnya, kata Ujang, satu bandar sayur di pasar tersebut, Rp
2.000-3.000 sekali manggul. “Meskipun dekat sekali, ya Rp 2.000,”
katanya.
Bos Ujang yang baru saja mendatangkan sayuran buncis, kentang, kol
dan wortel dari Malang ini mengakui pertanian itu dari mulai ditanam
sampai dipasarkan ke warung selalu bisa memberkahi banyak orang.
“Termasuk kepada para kuli panggul ini. Seharusnya, pemerintah memberi
perhatian serius,” kata pemilik lapak di Blok B-V ini.
0 komentar:
Posting Komentar