Sabtu, 25 Agustus 2012

Kisah Penjual Gorengan Naik haji


Ini kisah seorang penjual gorengan. Di daerah Cipete Jakarta Selatan, di sebuah sekolah dasar disana, seorang pria penjual gorengan bernama Udin (bukan nama asli) berjualan. Lnceng turun main, kira-kira akan berbunyi sepuluh menit lagi. Ia tengah memotong beberapa singkong untuk digoreng. Singkong seperti kita tahu, berbentuk tabung dan berkerucut pada ujungnya. Biasanya sebuah singkong akan dipotong lima bagian. Empat bagian digoreng untuk dijual, sementara bagian ujung atau pentilnya disisihkan untuk dibuang. Hari itu, Udin menggoreng kira-kira lima buah singkong, dan pentil singkong yang tersisa pun berjumlah lima.

Lonceng istirahat berbunyi,para siswa pun berhamburan ke luar kelas untuk jajan dan istirahat. Seorang anak kurus sambil mengigit jari berdiri di ujung gerobak Udin. Anakini tidak mmbeli gorengan seperti siswa lainnya, juga tidak berbicara sepatahpun. Naluri Udin berkata bahwa anak ini tidak punya uang untuk jajan. Hati kecil menyuruhnya agar lima pentil singkong yang ada diberikan saja kepada anak itu. Maka diambillah beberapa pentil itu. Ia masukkan ke dalam adonan tepung, kemudian digorenglah. Setelah matang, Udin menaruhnya di atas kertas lalu disodorkannya kepada anak itu. Si anak senang bukan main. Senyumnya mengembang. Udin turut bahagia melihatnya.Belakangan, Udin tahu bahwa anak tersebut adalah seorang yatim yang baru saja kehilangan Bapak.

Kejadian pagi itu terus berulang. Udin memberikan beberapa pentil singkongnya kepada anak yatim itu. Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun hingga anakitu lulus dari Sekolah Dasar. Udin tidak merasa berat, sebab apa yang ia berikan kepada anak yatim itu tiada lain adalah barang yang tiada berharga bagi siapapun. Dalam pengalamannya berjualan, tidak ada seorang pun yang mencari pentil singkong untuk dibeli. Bahkan bila dijual sekalipun dalam jumlah banyak, pastilah tidak akan laku. Udin tidak keberatan memberikan pentil singkongnya kepada anak itu.Bahkan untuk setiap hari.

Lebih dari 30 tahun berselang setelah anak yatim itu lulus. Saat itu, Udin masih mengerjakan rutinitasnya setiap hari yaitu berjualan gorengan di sekolah dasar yang sama. Maka berhentilah sebuah mobil mewah nan mengkilap tepat di depan gerobak Udin. Seorang pemuda tampan turun darimobil.Ia mengenakan setelan dan dasi yang bermerk. Rambutnya di sisir rapi dan mengkilat ditimpa sinar matahari.

Melihat calon pembeli denga mobil bagus, Udin sigap membuka pembicaraan, “Mau beli gorengan Den?!” Pemuda itu tersenyum dan berkata, “Masa Bapak lupa sama saya?” Pertanyaan itu membuat Udin berpikir singkat, namun ia tidak menemukan jawabannya. Udin lalu bertanya polos, “Memangnya Aden ini siapa ya?” Masih tersenyum, pemuda itu mengatakan, “Saya ini adalah anak pentil singkong, Kang!” Mendengar itu, Udin berucaptasbih. Rasa gembira terbit dihatinya melihat kesuksesan anak ini. Anak pentil singkong yang dulu kerap berdiri di pinggir gerobaknya. “Masya Allah…. sudah sukses sekarang ya Den?” Udin bertanya sekali lagi. “Alhamdulillah Pak!” jawab si pemuda itu.

Udin lalu menggamit lengan si pemuda, diajaknya masuk ke balik gerobaknya. Udin menyorongkan sebuah kursi kecil untuk duduk. Maka duduklah pemuda itu, sementara Udin meneruskan pekerjaannya menggoreng singkong, tempe dan lain-lain. Sambil Udin bekerja, pembicaraan mengenai kenangan lama terulang kembali. Keduanya merajut rasa syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan anugerah tiada terkira. Pembicaraan tersebut terus berlanjut hingga berujung pada sebuah kalimat yang diucapkan sang pemuda.

“Bapak… saya ke sini mau berterimah kasih!” kata si pemuda. “Atas apa, Den?!” jawab Udin. “Berterima kasih atas kebaikan Bapak kepada saya. Dulu kalau tidak dikasih pentil singkong sama Bapak, saya gak bakal bisa belajar dengan tenang. Kalau belajar gak tenang, saya gak bakal pintar. Kalau gak pintar, saya gak bakal bisa lulus sekolah dan sukses seperti sekarang… saya ke sini mau berterima kasih ke Bapak!” kalimat yang baru diucapkan oleh pemuda itu begitu tersusun dan membanggakan hati Udin. Namun Udin masih berkelit sambil berujar, “Den…sudah gak usah dipikirkan. Apa yang saya kasih ke Aden berupa pentil singkong itu kan gak berharga! Ngapain pakai terima kasih segala. Lagian, kalo saya jual gak bakal ada yang mau…!” Udin mencoba merendah dan menolak pamrih.

Pemuda masih mengejar dengan satu pertanyaan lagi, dan ini membuat Udin menjadi bergidik.”Bapak…, saya dan istri berniat haji tahun ini. Saya ingin Pak Udin dan istri mau menemani kami. Mau kan Pak?” Gemuruh rasa terjadi di dada Udin. Tidak pernah terbayangkan baginya akan ada seorang hamba Allah yang mengajaknya untuk menunaikan rukun Islam kelima. Udin pun mengiyakan, dan pemuda itu pun pergi meninggalkan Udin.

Udin dan istrinya berangkat haji. Seluruh biaya dan uang jajan keduanya ditanggung oleh si pemuda. Barangkali kalau dihitung lebih dari 60 juta yang dibayarkan olehnya. Udin dan istri lalu berangkat ke Baitullah, menunaikan semua ritual dan berkewajiban dalamibadah haji. Hingga ia dan istri kembali ke tanah air lagi dengan selamat. Sesampainya di tanah air, banyak kerabat, saudara dan tetangga datang bersilaturrahmi. Udin membagikan oleh-oleh berupaair zamzam, kurma dan banyak lagi. Banyak orang senang menerima oleh-oleh tersebut. Merekapun banyak menanyakan pengalaman Udin dan istri selama berhaji.

sumber : http://www.arminarekautama.com/artikel-terkait/53-kisah-penjual-gorengan-naik-haji.html

0 komentar: